PERMASALAHAN MAKRO DAN MIKRO PEMBANGUNAN DI MALUKU

Secara geografis luas wilayah Maluku adalah 712.479 Km2, terdiri dari 92.4% lautan dan 7.6% daratan. Jumlah pulau-pulau di Maluku adalah sekitar 1.340 pulau dengan panjang garis pantai sekitar 10.662 Km. Dalam hal ini, laut bukanlah dilihat sebagai kendala tetapi laut dan darat (laut-pulau) merupakan satu kesatuan sekaligus jembatan penghubung antara satu pulau dengan pulau lain.

Potensi sumberdaya alam yang terkandung di wilayah Maluku meliputi pertanian, kelautan dan perikanan, pertambangan dan gas. Berdasarkan hasil studi Bappeda Maluku (2008), sektor pertanian, perikanan dan pariwisata merupakan sektor yang dapat dijadikan sebagai sektor unggulan Provinsi Maluku.  Oleh karena potensi kelautan dan perikanan maka provinsi Maluku pernah dinyatakan sebagai lumbung ikan nasional. Dalam waktu bersamaan, luasnya potensi lahan rumput laut (+/- 1.000 hektar saat ini) maka usaha rumput laut diperkirakan akan memproduksi sekitar 4.000 ton per tahun dan menyerap puluhan ribuan tenaga kerja, sehingga menjadi solusi mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan di Maluku.

Ditinjau dari nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Maluku sektor pertanian dan perikanan menyumbang 60,3%; jasa dan perdagangan masing-masing 12,4%, industri 4,3% dan lainnya 10,6%. Implikasinya, pembangunan daerah kepulauan Maluku seharusnya mempunyai basis, fokus dan lokus pada kawasan (kluster) komoditas pertanian dan perikanan yang ada pada tiap sektor unggulan. Berdasarkan hasil studi Bappeda Provinsi Maluku, maka komoditas unggulan yang ditetapkan adalah pala, cengkeh, kelapa, tuna, rumput laut, mutiara dan pariwisata, termasuk pertambangan (nikel dan gas). Setiap kawasan akan menghasilkan satu produk (satu kawasan satu produk) sekaligus menjadi trigger pembangunan dan daya saing ekonomi daerah.

Jumlah penduduk Maluku cenderung meningkat dari 1.451.630 jiwa pada tahun 2009 menjadi sekitar 1.5 juta jiwa tahun 2010 (BPS, 2011). Persebaran penduduk belum merata karena terpusat di kota Ambon sekaligus sebagai ibu kota provinsi dan beberapa ibu kota kabupaten seperti kota Tual dan Dobo. Laju pertumbuhan penduduk kota Ambon yang jauh lebih tinggi (4%) dibanding kabupaten lain yang cenderung stagnan. Pertumbuhan penduduk kota Ambon kemungkinan besar karena terkait dengan fenomena migrasi masuk yang cukup tinggi sehingga menciptakan fenomena urbanisasi berlebih di kota Ambon.

Secara administratif, jumlah kabupaten/kota di wilayah  provinsi Maluku juga meningkat karena pembentukan kabupaten/kota baru. Pada saat ini jumlah kabupaten/kota di provinsi Maluku terdiri dari  9 kabupaten dan 2 kota. Pemekaran wilayah tersebut penting guna mengurangi rentang kendala (span of control) wilayah yang cukup luas dan biaya transportasi yang cukup mahal. Namun satu hal yang tidak boleh terlupakan adalah bahwa pembentukan kabupaten/kota yang baru bertujuan memperbaiki layanan publik, meningkatkan daya saing daerah dan kesejahteraan masyarakat.

Setelah lebih dari 5 tahun yaitu dari tahun 2005-2011, ditetapkannya komoditas unggulan sebagai upaya mewujudkan daya saing daerah Maluku, ternyata belum tampak hasil nyata produk-produk komoditas unggulan berdaya saing yang dihasilkan di Maluku. Oleh karena itu, komoditas unggulan yang sering disebut sebenarnya belum memiliki keunggulan dan daya saing, sehingga lebih tepat disebut sebagai komoditas andalan berupa potensi sumberdaya alam (resource endowment) yang belum dioptimalkan pemanfaatannya. Bahkan potensi sumberdaya alam yang ada (existing condition) belum diketahui dengan pasti kecuali dari data yang dilaporkan oleh Biro Pusat Statistik.

Perkembangan komoditas unggulan tampak dan terkait dengan kondisi obyektif perekonomian Maluku pada tahun 2009 yang menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi cenderung berfluktuasi walau cenderung naik mencapai 5,43% dan inflasi sekitar 6,48%. Nilai ekspor pada tahun yang sama sekitar US $102 juta. Tingkat pengangguran menurun dari 10,38% pada tahun 2009 menjadi 9,13% pada tahun 2010. Namun jumlah penduduk miskin masih tergolong tinggi walau cenderung menurun dari 28,23% pada tahun 2009 menjadi 27,77% pada tahun 2010. Angka kemiskinan pada tahun terakhir sempat diperdebatkan karena Maluku tergolong provinsi termiskin ketiga di Indonesia, pada hal walau angka kemiskinan Maluku lebih tinggi dari tahun sebelumnya tetapi tidak pernah dipersoalkan dan diperdebatkan oleh publik, politisi dan pemerintah Maluku.

Lebih jauh, perlu dipahami pula bahwa ketimpangan antar wilayah di provinsi Maluku adalah 0,47 (Bappeda, 2010) yang berarti hampir mendekati kategori timpang. Hasil studi Radianto (2008) ketimpangan berkisar antara 0,56-0,63 (dalam skala Wiliamson antara 0 = merata dan 1 = sangat timpang). Hal menarik adalah bahwa investasi swasta dan Pendapatan Asli Daerah (walau jumlahnya kecil dibanding dana dari pemerintah pusat) cenderung menciptakan ketimpangan sedangkan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) cenderung mendorong pemerataan antara wilayah. Pada dasarnya, persoalan ketimpangan tidak hanya ketimpangan spasial antar wilayah tetapi juga ketimpangan desa dan kota serta ketimpangan sosial ekonomi antara kaya dan miskin. Bahkan ketimpangan tersebut juga berada dalam kontek ketimpangan antar kawasan di Indonesia, khususnya Kawasan Barat dan Kawasan Timur Indonesa.  Ketimpangan tersebut adalah potensi konflik laten dana cepat atau lambat menjadi sumber utama terjadinya konflik sosial yang nyata.

Jika indikator pembangunan dapat dilihat dari jumlah pengusaha dan nilai pendapatan asli daerah, ternyata jumlah pengusaha di Maluku masih sedikit, dan pengusaha yang ada pun tergantung dari dana pemerintah yang hanya bersumber dari pemerintah pusat berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) semata.  Indikatornya jelas, hampir 80% APBD habis untuk pos pengeluaran rutin sedangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) cenderung stagnan.  Jadi masalahnya adalah bagaimana mengoptimalkan potensi sumberdaya alam Maluku berbasis komoditas unggulan disertai pergeresan paradigma pembangunan dari pembiayaan berbasis pemerintah ke pembiayaan berbasis pemerataan investasi swasta dan peningkatan pendapatan asli daerah yang selama ini lebih cenderung menciptakan kesenjangan antar wilayah.

Dalam rangka merespon permasalahan pembangunan di provinsi Maluku maka Gubernur Maluku menciptakan suatu visi baru: Mewujudkan Maluku yang Makmur dan berkeadilan ekonomi serta berkelanjutan. Inti dalam visi tersebut adalah melakukan suatu terobosan pemikiran berupa percepatan pembangunan Maluku antara tahun 2011 s.d 2025 dengan kebijakan pengembangan komoditas unggulan Maluku sebagai basis utama master plan pengembangan ekonomi Maluku (Bappeda, 2011). Pertimbangan visi dan kebijakan tersebut adalah karena pembiayaan yang terbatas tidaklah mungkin membiayai semua program untuk mengoptimalkan potensi sumberdaya alam dan sosial Maluku. Maka hal yang rasional dilakukan adalah fokus dan lokus pada komoditas unggulan yang diperkirakan berdampak pada penciptaan lapangan kerja, memperbaiki pendapatan dan menurunkan jumlah penduduk miskin.

Persoalan pembangunan di provinsi Maluku tidak hanya lemahnya daya saing, tetapi saling terkait secara sistemik dan kompleks dengan masalah lain. Kompleksitas keterkaitan antar berbagai masalah pembangunan itu saling terkait dalam bentuk pengangguran, kemiskinan, kesenjangan sosial ekonomi dan spasial.  Masalah yang lain adalah lemahnya sistem ketahanan dan kedaulatan pangan yang makin tampak dari ketergantungan komoditas pangan impor, investasi swasta rendah dan tidak merata, lemahnya industri pengolahan hasil pertanian (dalam arti luas), dan kerusakan atau degradasi lingkungan. Masalah tersebut juga terkait dengan lemahnya sistem mitigasi bencana alam, sulitnya akses ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan kesehatan yang lebih baik, sulitnya akses ke air bersih, serta masalah hak-hak azasi manusia.

Berbagai persoalan pembangunan di Maluku telah sering didiskusikan oleh kalangan akademisi dan dari hasil diskusi Mollucas Research and Innovation Center (MRIC), berbagai masalah pembangunan di Provinsi Maluku tersebut dapat dikelompokkan atas beberapa isu utama yaitu:

(1) Masalah kesejahteraan sosial;

(2) Masalah pembangunan, lingkungan hidup dan pemanasan global;

(3) Masalah politik, hukum dan hak-hak azasi manusia;

(4) Masalah pembangunan ekonomi dan pengelolaan sumberdaya alam.

Oleh karena pembangunan di pulau-pulau kecil cukup berisiko dan rentan terhadap perubahan karena bencana alam (natural disaster), konflik sosial (social conflict) dan degradasi lingkungan, maka perspektif pembangunan haruslah holistik dan sistemik. Jadi keempat isu tersebut tidak dilihat berdiri sendiri tetapi saling terkait satu sama lain, baik didalam kelompok maupun antar kelompok kategori isu. Hal ini penting untuk proaktif mengantisipasi masalah eksternalitas yang mungkin terjadi dalam proses pembangunan di pulau-pulau kecil.

Masalah kesejahteraan sosial berkaitan dengan kemiskinan, pendidikan dan kesehatan, gender, keadilan sosial, ketahanan dan kedaulatan pangan. Masalah yang terkait dengan pembangunan, lingkungan dan pemanasan global terkait dengan mitigasi bencana alam, degradasi dan kerusakan lingkungan, konservasi dan daerah aliran sungai, energi alternatif, perubahan iklim dan pemanasan global. Selanjutnya masalah sosial budaya dan politik berkaitan dengan kearifan lokal, budaya dan politik di Maluku dalam kaitannya dengan masalah yang sama di tingkat regional dan global. Masalah yang terkait dengan ekonomi dan pengelolaan sumberdaya a.l. pengembangan industri berbasis hasil pertanian dan kelautan seperti kelapa, pala, cengkeh, rumput laut, ikan tuna dan mutiara termasuk parawisata.

One thought on “PERMASALAHAN MAKRO DAN MIKRO PEMBANGUNAN DI MALUKU”

Leave a Reply to Irwanto Forester Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *