Tag Archives: PULAU KECIL

IMPLEMENTASI KONSEP PENGELOLAAN HUTAN LESTARI PADA PULAU-PULAU KECIL

Ekosistem pulau-pulau kecil sangat rentan terhadap gangguan atau mudah mengalami kerusakan akibat gangguan dari luar
(vulnerability) dan memiliki daya dukung yang rendah. Perubahan iklim global yang disebabkan oleh perubahan lingkungan, menyebabkan terjadi efek rumah kaca yang berakibat pada peningkatan suhu bumi, peningkatan permukaan laut, peningkatan badai tropis dan gelombang laut, semuanya membawa pengaruh langsung terhadap kondisi ekosistem pulau-pulau kecil; abrasi pantai yang selanjutnya akan merusak ekosistem di sekitarnya, yang juga mengancam seluruh pemukiman di pesisir dan aktivitas masyarakat secara keseluruhan. Selain ancaman perubahan iklim global, ancaman lain yang akan dihadapi pulau-pulau kecil adalah kekeringan dan banjir, tingkat erosi yang tinggi, kekurangan air bersih dan berkualitas untuk kebutuhan masyarakat dan
pembangunan, kehancuran ekosistem di darat dan laut, kepunahan keanekaragaman hayati dan penurunan produktivitas.

Berkaitan dengan kendala yang dihadapi dalam pembangunan lestari pada pulau-pulau kecil, maka upaya optimal untuk pengelolaan seluruh ekosistem dengan mempertimbangkan
kendala yang ada, sudah harus menjadi kebijakan dasar dalam konsep pembangunan pada wilayah tersebut. Hal yang harus mendapat perhatian dalam pembangunan lestari adalah integrasi
seluruh ekosistem terestrial dalam pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) yang pada gilirannya akan memberikan dampak yang positif bagi kelestarian ekosistem perairan laut, sebagai satu kesatuan tumpuan ekonomi, berbasis ekosistem pada daerah pulau-pulau kecil di masa depan.

Pengertian DAS sangat bervariasi, namun yang dimaksudkan dengan DAS dalam penelitian ini adalah daerah yang dibatasi punggung-punggung gunung/bukit di mana air hujan yang jatuh
pada daerah tersebut akan ditampung oleh punggung gunung tersebut dan dialirkan melalui sungai-sungai kecil ke sungai utama (Asdak, 1995).
Berkaitan dengan pengertian, dan sifat DAS, maka DAS dapat dikatakan sebagai unit fisikbiologi dan sosial-ekonomi yang dipakai sebagai dasar perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam (Brooks et al., 1992). Bahkan Brooks et. al. (1992) mengutip pendapat Doolette dan Magrath (1990) yang menetapkan bahwa DAS merupakan unit hidrologi yang sesuai untuk dikembangkan
secara konsepsional dengan memperhatikan keterkaitan antar bidang pembangunan dalam pengembangan investasi untuk mewujudkan pembangunan lestari.

Peranan DAS yang demikian penting, terutama pada pulau-pulau kecil hampir tidak mendapat perhatian dalam penerapan kebijakan
operasional, karena kurang memahami secara mendasar peranan tersebut. Selain itu, penetapan batas wilayah administratif/politik sejak awal tidak memperhatikan batas-batas ekologi, bahkan
batas ekologi tidak mendapat tempat dalam konsep perencanaan pembangunan yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Hal ini selalu menjadi kendala bagi tercapainya usaha pengelolaan DAS yang komprehensip dan efektif.
Tantangan kebijakan dalam pengelolaan DAS yang cukup mendesak adalah mengusahakan tercapainya keselarasan persepsi antara batas administratif pemerintahan dan batas DAS.
Sifat dan ukuran DAS pada pulau-pulau kecil sangat berbeda dengan pulau besar tergantung dari sifat fisik biologi dan sosial ekonomi
masyarakat setempat. Pada pulau besar, batas satu DAS mungkin dapat melampaui batas administratif kabupaten, atau provinsi bahkan batas administratif suatu negara, namun hal ini sangat berbeda pada kondisi pulau-pulau kecil, sesuai karakter dan ciri-ciri yang dimilikinya, maka ukuran daerah aliran sungainya juga lebih
sempit, tidak melewati batas kabupaten, tetapi melewati batas desa, kecamatan dan yang terluas adalah sebatas luas satu pulau. Seperti kondisi di Kepulauan Maluku saat ini yang hanya dua buah
pulau yang berukuran lebih luas dari ukuran pulau-pulau kecil, yaitu Pulau Halmahera (20.000 km2) dan Pulau Seram (17.429 km2) di mana tiap tiap pulau masih berada dalam satu kabupaten.
Namun, karena pemekaran kabupaten baru-baru ini di Maluku Utara tanpa memperhatikan batas DAS, maka DAS yang demikian sempit terpecah pecah dalam wilayah kabupaten. Seperti DAS
Kao yang akan diusulkan menjadi daerah kajian, terpecah dalam Kabupaten Halmahera Utara dan Kabupaten Halmahera Barat. Demikian juga, hal yang sama terjadi dalam pemekaran kabupaten
di Pulau Seram Provinsi Maluku.

Pulau Halmahera dan Pulau Seram walaupun memiliki ukuran yang lebih luas, tetapi memiliki sifat-sifat pulau kecil, karena bentuk topografi yang bergunung membentuk DAS sempit, kondisi tanah yang peka erosi, keragaman ekosistem yang memiliki hubungan
saling keterkaitan antara ekosistem terestrial dan ekosistem pesisir, serta hubungan dengan pulau-pulau kecil disekitar pulau tersebut.
Kondisi ini memerlukan pertimbangan yang komprehensip dan terintegrasi dalam penerapan konsep pembangunan agar eksistensi kepulauan yang tergambar dalam gugus pulau, pulau, DAS dan seluruh komponen ekosistem di dalamnya dapat dijamin keberadaannya, dapat menjamin eksistensi ekosistem pesisir dan laut dalam, bagi kepentingan generasi sekarang dan mendatang.
Dengan memperhatikan sifat-sifat ekosistem pulau-pulau kecil dan dampak lingkungan yang muncul akibat penerapan konsep yang
bersifat umum dan tidak sesuai dengan sifat pulau-pulau kecil, maka diperlukan pembenahan kembali dengan memperhatikan pengelolaan DAS pada ekosistem pulau-pulau kecil secara
mendasar. Sasaran pengelolaan DAS tetap bertumpu pada tiga landasan utama, yaitu ekologi, ekonomi dan sosial-budaya masyarakat lokal.
Landasan ekologi menekankan pada integritas ekosistem meliputi ekosistem pantai dan perairan, ekosistem daratan hulu dan hilir. Ekosistem tersebut dapat diperinci dalam komponen ekosistem
yang lebih spesifik, seperti ekosistem terumbu karang, hutan mangrove, hutan rawa, hutan sagu, hutan lindung, hutan konservasi,
hutan produksi, pertanian, pemukiman, dan komponen ekosistem lainnya.

Implementation of Action Research to Challenge Poverty of Local Communities in Forest Protection Area

Gun Mardiatmoko, Agustinus Kastanya and Jan Willem Hatulesila

Department of Forestry, Pattimura University, Ambon 97233, Maluku, Indonesia

Forest land including forest protection areas in Indonesia have been degraded due to poverty of local communities who live in the surrounding areas. They tend to destroy the forest and are less attentive to forest conservation causing conflict between
local community and government. Forest protection areas are very fragile and at risk from natural disaster, mainly in small islands.
Natural resources management in small islands needs to be done properly. Therefore, a research has been done for local communities
in the Gunung Sirimau forest protection area, Ambon, with objectives to increase income in local communities and knowledge of forest conservation.

This study used the action research method. The results of this study showed that income of local communities in three demplots increased by IDR 3,966,000 (in cycle 1), IDR 20,107,000 (in cycle 2) and IDR 25,897,000 (in cycle 3). Unfortunately, their knowledge regarding forest conservation and tree maintenance, both in theory and practice is still low. A lot of effort is needed to increase their knowledge in the next action research. The effort to increase income of local communities and its knowledge of forest conservation should be done step by step. If their knowledge is sufficient, promotion of the environmental service of forest
protection areas through carbon trade implementation can be carried out.

Key words: Action research, carbon trade, agroforestry, forest protection.

PERMASALAHAN MAKRO DAN MIKRO PEMBANGUNAN DI MALUKU

Secara geografis luas wilayah Maluku adalah 712.479 Km2, terdiri dari 92.4% lautan dan 7.6% daratan. Jumlah pulau-pulau di Maluku adalah sekitar 1.340 pulau dengan panjang garis pantai sekitar 10.662 Km. Dalam hal ini, laut bukanlah dilihat sebagai kendala tetapi laut dan darat (laut-pulau) merupakan satu kesatuan sekaligus jembatan penghubung antara satu pulau dengan pulau lain.

Potensi sumberdaya alam yang terkandung di wilayah Maluku meliputi pertanian, kelautan dan perikanan, pertambangan dan gas. Berdasarkan hasil studi Bappeda Maluku (2008), sektor pertanian, perikanan dan pariwisata merupakan sektor yang dapat dijadikan sebagai sektor unggulan Provinsi Maluku.  Oleh karena potensi kelautan dan perikanan maka provinsi Maluku pernah dinyatakan sebagai lumbung ikan nasional. Dalam waktu bersamaan, luasnya potensi lahan rumput laut (+/- 1.000 hektar saat ini) maka usaha rumput laut diperkirakan akan memproduksi sekitar 4.000 ton per tahun dan menyerap puluhan ribuan tenaga kerja, sehingga menjadi solusi mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan di Maluku.

Ditinjau dari nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Maluku sektor pertanian dan perikanan menyumbang 60,3%; jasa dan perdagangan masing-masing 12,4%, industri 4,3% dan lainnya 10,6%. Implikasinya, pembangunan daerah kepulauan Maluku seharusnya mempunyai basis, fokus dan lokus pada kawasan (kluster) komoditas pertanian dan perikanan yang ada pada tiap sektor unggulan. Berdasarkan hasil studi Bappeda Provinsi Maluku, maka komoditas unggulan yang ditetapkan adalah pala, cengkeh, kelapa, tuna, rumput laut, mutiara dan pariwisata, termasuk pertambangan (nikel dan gas). Setiap kawasan akan menghasilkan satu produk (satu kawasan satu produk) sekaligus menjadi trigger pembangunan dan daya saing ekonomi daerah.

Jumlah penduduk Maluku cenderung meningkat dari 1.451.630 jiwa pada tahun 2009 menjadi sekitar 1.5 juta jiwa tahun 2010 (BPS, 2011). Persebaran penduduk belum merata karena terpusat di kota Ambon sekaligus sebagai ibu kota provinsi dan beberapa ibu kota kabupaten seperti kota Tual dan Dobo. Laju pertumbuhan penduduk kota Ambon yang jauh lebih tinggi (4%) dibanding kabupaten lain yang cenderung stagnan. Pertumbuhan penduduk kota Ambon kemungkinan besar karena terkait dengan fenomena migrasi masuk yang cukup tinggi sehingga menciptakan fenomena urbanisasi berlebih di kota Ambon.

Secara administratif, jumlah kabupaten/kota di wilayah  provinsi Maluku juga meningkat karena pembentukan kabupaten/kota baru. Pada saat ini jumlah kabupaten/kota di provinsi Maluku terdiri dari  9 kabupaten dan 2 kota. Pemekaran wilayah tersebut penting guna mengurangi rentang kendala (span of control) wilayah yang cukup luas dan biaya transportasi yang cukup mahal. Namun satu hal yang tidak boleh terlupakan adalah bahwa pembentukan kabupaten/kota yang baru bertujuan memperbaiki layanan publik, meningkatkan daya saing daerah dan kesejahteraan masyarakat.

Setelah lebih dari 5 tahun yaitu dari tahun 2005-2011, ditetapkannya komoditas unggulan sebagai upaya mewujudkan daya saing daerah Maluku, ternyata belum tampak hasil nyata produk-produk komoditas unggulan berdaya saing yang dihasilkan di Maluku. Oleh karena itu, komoditas unggulan yang sering disebut sebenarnya belum memiliki keunggulan dan daya saing, sehingga lebih tepat disebut sebagai komoditas andalan berupa potensi sumberdaya alam (resource endowment) yang belum dioptimalkan pemanfaatannya. Bahkan potensi sumberdaya alam yang ada (existing condition) belum diketahui dengan pasti kecuali dari data yang dilaporkan oleh Biro Pusat Statistik.

Perkembangan komoditas unggulan tampak dan terkait dengan kondisi obyektif perekonomian Maluku pada tahun 2009 yang menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi cenderung berfluktuasi walau cenderung naik mencapai 5,43% dan inflasi sekitar 6,48%. Nilai ekspor pada tahun yang sama sekitar US $102 juta. Tingkat pengangguran menurun dari 10,38% pada tahun 2009 menjadi 9,13% pada tahun 2010. Namun jumlah penduduk miskin masih tergolong tinggi walau cenderung menurun dari 28,23% pada tahun 2009 menjadi 27,77% pada tahun 2010. Angka kemiskinan pada tahun terakhir sempat diperdebatkan karena Maluku tergolong provinsi termiskin ketiga di Indonesia, pada hal walau angka kemiskinan Maluku lebih tinggi dari tahun sebelumnya tetapi tidak pernah dipersoalkan dan diperdebatkan oleh publik, politisi dan pemerintah Maluku.

Lebih jauh, perlu dipahami pula bahwa ketimpangan antar wilayah di provinsi Maluku adalah 0,47 (Bappeda, 2010) yang berarti hampir mendekati kategori timpang. Hasil studi Radianto (2008) ketimpangan berkisar antara 0,56-0,63 (dalam skala Wiliamson antara 0 = merata dan 1 = sangat timpang). Hal menarik adalah bahwa investasi swasta dan Pendapatan Asli Daerah (walau jumlahnya kecil dibanding dana dari pemerintah pusat) cenderung menciptakan ketimpangan sedangkan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) cenderung mendorong pemerataan antara wilayah. Pada dasarnya, persoalan ketimpangan tidak hanya ketimpangan spasial antar wilayah tetapi juga ketimpangan desa dan kota serta ketimpangan sosial ekonomi antara kaya dan miskin. Bahkan ketimpangan tersebut juga berada dalam kontek ketimpangan antar kawasan di Indonesia, khususnya Kawasan Barat dan Kawasan Timur Indonesa.  Ketimpangan tersebut adalah potensi konflik laten dana cepat atau lambat menjadi sumber utama terjadinya konflik sosial yang nyata.

Jika indikator pembangunan dapat dilihat dari jumlah pengusaha dan nilai pendapatan asli daerah, ternyata jumlah pengusaha di Maluku masih sedikit, dan pengusaha yang ada pun tergantung dari dana pemerintah yang hanya bersumber dari pemerintah pusat berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) semata.  Indikatornya jelas, hampir 80% APBD habis untuk pos pengeluaran rutin sedangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) cenderung stagnan.  Jadi masalahnya adalah bagaimana mengoptimalkan potensi sumberdaya alam Maluku berbasis komoditas unggulan disertai pergeresan paradigma pembangunan dari pembiayaan berbasis pemerintah ke pembiayaan berbasis pemerataan investasi swasta dan peningkatan pendapatan asli daerah yang selama ini lebih cenderung menciptakan kesenjangan antar wilayah.

Dalam rangka merespon permasalahan pembangunan di provinsi Maluku maka Gubernur Maluku menciptakan suatu visi baru: Mewujudkan Maluku yang Makmur dan berkeadilan ekonomi serta berkelanjutan. Inti dalam visi tersebut adalah melakukan suatu terobosan pemikiran berupa percepatan pembangunan Maluku antara tahun 2011 s.d 2025 dengan kebijakan pengembangan komoditas unggulan Maluku sebagai basis utama master plan pengembangan ekonomi Maluku (Bappeda, 2011). Pertimbangan visi dan kebijakan tersebut adalah karena pembiayaan yang terbatas tidaklah mungkin membiayai semua program untuk mengoptimalkan potensi sumberdaya alam dan sosial Maluku. Maka hal yang rasional dilakukan adalah fokus dan lokus pada komoditas unggulan yang diperkirakan berdampak pada penciptaan lapangan kerja, memperbaiki pendapatan dan menurunkan jumlah penduduk miskin.

Persoalan pembangunan di provinsi Maluku tidak hanya lemahnya daya saing, tetapi saling terkait secara sistemik dan kompleks dengan masalah lain. Kompleksitas keterkaitan antar berbagai masalah pembangunan itu saling terkait dalam bentuk pengangguran, kemiskinan, kesenjangan sosial ekonomi dan spasial.  Masalah yang lain adalah lemahnya sistem ketahanan dan kedaulatan pangan yang makin tampak dari ketergantungan komoditas pangan impor, investasi swasta rendah dan tidak merata, lemahnya industri pengolahan hasil pertanian (dalam arti luas), dan kerusakan atau degradasi lingkungan. Masalah tersebut juga terkait dengan lemahnya sistem mitigasi bencana alam, sulitnya akses ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan kesehatan yang lebih baik, sulitnya akses ke air bersih, serta masalah hak-hak azasi manusia.

Berbagai persoalan pembangunan di Maluku telah sering didiskusikan oleh kalangan akademisi dan dari hasil diskusi Mollucas Research and Innovation Center (MRIC), berbagai masalah pembangunan di Provinsi Maluku tersebut dapat dikelompokkan atas beberapa isu utama yaitu:

(1) Masalah kesejahteraan sosial;

(2) Masalah pembangunan, lingkungan hidup dan pemanasan global;

(3) Masalah politik, hukum dan hak-hak azasi manusia;

(4) Masalah pembangunan ekonomi dan pengelolaan sumberdaya alam.

Oleh karena pembangunan di pulau-pulau kecil cukup berisiko dan rentan terhadap perubahan karena bencana alam (natural disaster), konflik sosial (social conflict) dan degradasi lingkungan, maka perspektif pembangunan haruslah holistik dan sistemik. Jadi keempat isu tersebut tidak dilihat berdiri sendiri tetapi saling terkait satu sama lain, baik didalam kelompok maupun antar kelompok kategori isu. Hal ini penting untuk proaktif mengantisipasi masalah eksternalitas yang mungkin terjadi dalam proses pembangunan di pulau-pulau kecil.

Masalah kesejahteraan sosial berkaitan dengan kemiskinan, pendidikan dan kesehatan, gender, keadilan sosial, ketahanan dan kedaulatan pangan. Masalah yang terkait dengan pembangunan, lingkungan dan pemanasan global terkait dengan mitigasi bencana alam, degradasi dan kerusakan lingkungan, konservasi dan daerah aliran sungai, energi alternatif, perubahan iklim dan pemanasan global. Selanjutnya masalah sosial budaya dan politik berkaitan dengan kearifan lokal, budaya dan politik di Maluku dalam kaitannya dengan masalah yang sama di tingkat regional dan global. Masalah yang terkait dengan ekonomi dan pengelolaan sumberdaya a.l. pengembangan industri berbasis hasil pertanian dan kelautan seperti kelapa, pala, cengkeh, rumput laut, ikan tuna dan mutiara termasuk parawisata.